Mau tahu sesuatu yang tak masuk akal? Aku membenci diriku sendiri. Sangat benci sampai rasanya ingin menghilang. Berharap dapat menghapus semua jejak kotor dalam hidupku hingga tak tersisa. Dan kata ‘seandainya’ selalu memenuhi benakku. Berharap dengan naif bahwa kata itu akan menjadi nyata. Tapi terlanjur. Masa lalu sudah menjadi kenangan dan masa depan telah menunggu, namun kenapa aku masih sama saja? Masih dengan hati yang kotor dan pikiran yang kusut. Kenapa aku tak pernah berubah? Kenapa aku selalu berlari pada bayangan yang sama? Padahal cahaya terang didepan sana selalu menungguku, berharap aku berlari kepadanya dan menemukan kebebasan. Tapi kenapa kakiku begitu berat untuk berlari? Seolah kakiku tak membiarkanku untuk beranjak dari kegelapan yang menyakitkan ini. Bukan! Ini bukan karena kakiku. Ini karena diriku yang membiarkanku untuk tetap berada pada kegelapan yang selalu kukira rumah. Kegelapan yang akhirnya membuatku tersadar bahwa rumahku yang sebenarnya adalah cahaya i
Kematian. Satu kata itu selalu terngiang dalam benakku.
Dulu kecil, kematian adalah hal yang menakutkan dan menjadi salah satu hal yang tak pernah diinginkan terjadi.
Beranjak dewasa, kematian tak lagi menakutkan dan selalu menjadi satu-satunya pelarian terakhir dalam hidup.
Meskipun kematian itu sendiri melawan hukum kehidupan dan menamatkan alur hidup yang belum selesai.
Namun mengapa?
Mengapa kematian selalu menjadi pelarian terakhir?
Apakah hidup sesulit itu?
Apakah hidup tak lagi aman dan nyaman?
Apakah hidup tak lagi damai?
Kita tak pernah tahu. Hanya seseorang yang memilih pelarian itulah yang memiliki jawaban.
Mereka tahu konsekuensinya tapi mereka tetap memilih.
Terdengar tak masuk akal, tapi itu adalah kenyataan sesungguhnya.